Minggu, 13 September 2015

Materi kelas XII : Penyusunan dan Penetapan APBN



BAHAN AJAR
PPKN KELAS XII SEMESTER 1 (kurtilas)
Indikator:
3.2.1        Menjelaskan tentang penyusunan dan penetapan APBN
3.2.2        Mendeskripsikan Pendapatan Negara (pajak dan pungutan lain)
3.2.3        Mendeskripsikan lembaga pengelola keuangan negara
3.2.4        Mendeskripsikan pelaksanaan pasal-pasal yang mengatur pengelolaan keuangan negara
3.2.5        Menjelaskan wewenang BPK
3.2.6        Menjelaskan kedudukan dan keanggotaan BPK
3.2.7        Menjelaskan pemilihan anggota BPK
3.2.8        Menjelaskan pemberhentian anggota BPK
3.2.9        Menjelaskan pelaksanaan pasal-pasal yang mengatur BPK
3.2.10    Mengidentifikasi asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
3.2.11    Menyebutkan penyelenggara kekuasaan kehakiman
3.2.12    Mendeskripsikan tugas dan wewenang Mahkamah Agung (MA)
3.2.13    Mendeskripsikan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi (MK)
3.2.14    Mendeskripsikan tugas dan wewenang Komisi Yudisial (KY)
3.2.15    Mendeskripsikan pelaksanaan pasal-pasal yang mengatur kekuasaan kehakiman
3.2.16    Menguraikan tugas dan wewenang Peradilan Umum (PU)
3.2.17    Menguraikan tugas dan wewenang Peradilan Agama (PA)
3.2.18    Menguraikan tugas dan wewenang Peradilan Militer (PM)
3.2.19    Menguraikan tugas dan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
3.2.20    Mendeskripsikan pelaksanaan pasal-pasal yang mengatur lembaga peradilan
3.2.21    Mengidentifikasi pengawasan hakim dan hakim konstitusi
3.2.22    Mengidentifikasi pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi
Pelaksanaan Pasal-pasal yang mengatur tentang Keuangan, BPK & Kekuasaan Kehakiman
Keuangan
Penyusunan dan penetapan APBN
Pendapatan Negara
Lembaga Pengelola Keuangan Negara
BPK
Wewenang BPK
Kedudukan dan Keanggotaan BPK
Pemilihan Anggota BPK
Pemberhentian Anggota BPK
Kekuasaan Kehakiman
Asas Peeenyelenggara Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman
MA, MK, KY, PU, PA, PM, PTUN
Pelaksanaan pasal-pasal yang mengatur BPK
Pelaksanaan pasal-pasal yang mengatur Kekuasaan Kehakiman
Pelaksanaan pasal-pasal yang mengatur Pengelolaan Keuangan Negara
 



























BAB II
PELAKSANAAN PASAL-PASAL YANG MENGATUR TENTANG KEUANGAN, BPK, DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN


C.    Pelaksanaan Pasal-Pasal yang Mengatur Kekuasaan Kehakiman
Peraturan yang mengatur tentang kekuasaan Kehakiman adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 24, pasal 24A, pasal 24B, pasal 24C dan pasal 25. Adapun Undang-undang yang mengatur lebih jelas tentang kekuasaan kehakiman adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab IX pasal 24 ayat 1 Tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Bab 1 pasal 1 ayat 1 mengatakan bahwa “kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

1.      Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Bab II pasal :
Pasal 2
1)      Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
2)      Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
3)      Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan Undang-Undang.
4)      Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 3
1)      Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
2)      Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3)      Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
1)      Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
2)      Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 5
1)      Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
2)      Hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
3)      Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Pasal 6
1)      Tidak seorang pun dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali Undang-Undang menentukan lain.
2)      Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-Undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Pasal 7
Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang.
Pasal 8
1)      Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2)      Dalam mempertimbangkan berat ringananya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Pasal 9
1)      Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
2)      Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan.
3)      Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam Undang-Undang.
Pasal 10
1)      Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa  hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
2)      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.
Pasal 11
1)      Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali Undang-Undang menentukan lain.
2)      Susunan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota.
3)      Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera.
4)      Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali Undang-Undang mennetukan lain.
Pasal 12
1)      Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali Undang-Undang menentukan lain.
2)      Dalam hal terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.
Pasal 13
1)      Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain.
2)      Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
3)      Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Pasal 14
1)      Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
2)      Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
3)      Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.
Pasal 15
Pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta untuk kepentingan peradilan.
Pasal 16
            Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Pasal 17
1)      Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.
2)      Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
3)      Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
4)      Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.
5)      Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
6)      Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan.
7)      Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.
2.      Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab IX pasal 24 ayat 2 yang berbunyi :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Bab III Pasal 18 berbunyi :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
a.      Mahkamah Agung
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Bab III :
1)      Pengertian Mahkamah Agung
Pasal 20 ayat 1 yang dimaksud dengan Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18. Hal ini juga sama dengan pengertian MK di pasal 1 UU No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimanadimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2)      Wewenang Mahkamah Agung
Pasal 20 ayat 2 yang berbunyi :
a)      Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali Undang-Undang menentukan lain;
b)      Menguji peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dan
c)      Kewenangan lainnya yang diberikan Undang-Undang
Pasal 30 ayat 1, UU No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung :
“Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena:
a)      tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b)      salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c)      lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Ayat 2
Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Ayat 3
Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Ayat 4
Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat(3) diatur oleh Mahkamah Agung.
Pasal 31 UU No 5 Tahun 2004, berbunyi:
1)      Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
2)      Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
3)      Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
4)      Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
5)      Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
3)          Badan Peradilan
Pasal 25 ayat 1 yang berbunyi :
“Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara”.
b.      Mahkamah Konstitusi
1)      Pengertian Mahkamah Konstitusi
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : “Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
2)      Wewenang Mahkamah Konstitusi
Pasal 10 ayat 1 yang berbunyi :
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a)   Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b)   Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c)   Memutus pembubaran partai politik;
d)  Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e)   Kewenangan lain yang diberikan oleh Undang-Undang.
3)   Tugas Mahkamah Konstitusi
Pasal 29 ayat 2 yang berbunyi :
Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/ atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
4)    Anggota Mahkamah Konstitusi
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi pasal 4 ayat 1 yang berbunyi : “Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang di tetapkan dengan keputusan Presiden”.
5)    Susunan Mahkamah Konstitusi
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi pasal 4 ayat 2 yang berbunyi : “Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi”.
c.       Komisi Yudisial
1)      Pengertian Komisi Yudisial
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial pasal 1 ayat 1 yang berbunyi : “Komisi Yudisial adalah lembaga Negara sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 24 B ayat 1 Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
2)      Wewenang Komisi Yudisial
Pasal 13 UU No. 18 Tahun 2011 yang berbunyi:
Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a)      Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b)      Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c)      Menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung; dan
d)     Menjaga dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
3)      Tugas Komisi Yudisial
Pasal 20 ayat 1 UU No. 18 2011 Tentang Komisi Yudisial yang berbunyi:
“Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
a)      Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim;
b)      Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim;
c)      Melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
d)     Memutuskan benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim; dan
e)      Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat Hakim.
4)      Susunan Komisi Yudisial
Pasal 3 ayat (1), (2), (3) UU No. 18 2011 Tentang Komisi Yudisial yang berbunyi:
(1)   Komisi Yudisial berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.
(2)   Komisi Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja penghubung Komisi Yudisial di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Komisi Yudisial.
5)      Anggota Komisi Yudisial
Pasal 6 ayat (1), (2), (3) UU No. 18 2011 Tentang Komisi Yudisial yang berbunyi:
(1)   Komisi Yudisial mempunyai 7 (tujuh) orang anggota.
(2)   Anggota Komisi Yudisial adalah pejabat negara.
(3)   Keanggotaan Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.       2 (dua) orang mantan hakim;
b.      2 (dua) orang praktisi hukum;
c.       2 (dua) orang akademisi hukum; dan
d.      1 (satu) orang anggota masyarakat.
Pasal 11 ayat (1), (2), (3) UU No. 18 2011 Tentang Komisi Yudisial yang berbunyi:
(1)   Komisi Yudisial dibantu oleh sekretariat jenderal yang dipimpin oleh seorang sekretaris jenderal.
(2)   Sekretaris jenderal dijabat oleh pejabat pegawai negeri sipil.
(3)   Sekretaris jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Komisi Yudisial.
Pasal 12 ayat (1), (2) UU No. 18 2011 Tentang Komisi Yudisial yang berbunyi:
(1)      Sekretariat jenderal mempunyai tugas memberikan dukungan administratif dan teknis operasional kepada Komisi Yudisial.
(2)      Ketentuan mengenai susunan organisasi, tugas, tanggung jawab, dan tata kerja sekretariat jenderal diatur dengan Peraturan Presiden.
3.      Pelaksanaan Kekuasaan Kehakiman
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung berwenang  pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Akibat perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dilakukan perubahan secara komprehensif dengan dibentuknya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  4  Tahun  2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam Undang-Undang tersebut diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan.  Selain itu diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang  fungsinya  berkaitan  dengan   kekuasaan kehakiman.  Untuk  memberikan  kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung maka diatur dalam ketentuan peralihan.
Mahkamah Konstitusi (MK) sejak periode Nopember 2003 sampai dengan Maret 2007 telah memutuskan 16 permohonan judicial review Undang-Undang yang terkait dengan pengaturan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Keenam belas Putusan MK tersebut adalah sebagai berikut:
1. 
Pengujian Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara terhadap UUD 1945;
2. 
Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) terhadap UUD 1945;
3. 
Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945;
4. 
Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap UUD 1945;
5. 
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 dan Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 terhadap UUD 1945;
6. 
Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945;
7. 
Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
8. 
Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung terhadap Undang Undang Dasar 1945;
9. 
Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Bab VI Pasal 36 Ayat (1), (2), (3), (4) dan Pasal 11 Ayat (4) terhadap UUD 1945;
10.         
Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Pasal 74 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang & Industri terhadap UUD 1945;
11.         
Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Pasal 43 ayat (1) Tentang Pengadilan HAM terhadap UUD 1945;
12.         
Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, khususnya Pasal 36 menyangkut Penasehat hukum terhadap Undang-Undang Nomor18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 12 terhadap UUD 1945;
13.         
Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Pasal 74 Tentang Mahkamah Konstitusi;
14.         
Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
15.         
Pengujian Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
16.         
Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim MK sangat bervariasi mulai dari dikabulkan, dikabulkan sebagian, ditolak, hingga tidak dapat diterima. Tentunya putusan MK tersebut berimplikasi yuridis dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman disini adalah sebagaimana dimaksud dalam BAB IX Pasal 24 UUD 1945 berikut peraturan perundang-undangan organiknya yang menjadi dasar pengaturan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Pajak.
Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang berdasarkan UUD 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu penyelenggara kekuasaan yudikatif yang antara lain mempunyai wewenang mengawal dan menafsir konstitusi. Implikasi dari putusan-putusan MK dalam  mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD perlu dikaji dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
4.      Contoh pelaksanaan pasal-pasal yang mengatur Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menjatuhkan putusan sela terhadap perkara PHPU Kabupaten Paniai 2012 - Perkara No. 81/PHPU.D-X/2012 - pada Selasa (13/11) siang di Ruang Sidang MK. “Amar putusan mengadili, menyatakan dalam eksepsi, menolak eksepsi Termohon dan eksepsi Pihak Terkait. Dalam Pokok Permohonan, sebelum menjatuhkan putusan akhir, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua Pleno Mahfud MD didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Selain itu, Mahkamah memutuskan untuk menunda pelaksanaan Keputusan KPU Kabupaten Paniai No. 20/2012 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menjadi Peserta Pemilu bertanggal 24 April 2012 dan Keputusan KPU Kabupaten Paniai No. 27 Tahun 2012 tentang Penetapan dan Pengumuman Hasil Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Paniai Tahun 2012, bertanggal 19 Oktober 2012. “Memerintahkan kepada KPU Kabupaten Paniai untuk melakukan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual terhadap bakal pasangan calon, yaitu Lukas Yeimo, S.Pd. dan Olean Wege Gobai, serta memerintahkan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Paniai, KPU Provinsi Papua, KPU dan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual tersebut sesuai dengan kewenangannya,” demikian putusan Mahkamah.
Sebelum menjatuhkan putusan, Mahkamah menyampaikan pendapatnya. Di antaranya, Termohon terbukti telah menghalang-halangi hak Pemohon untuk maju sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilukada Kabupaten Paniai 2012 yang merupakan pelanggaran serius terhadap hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh konstitusi dalam penyelenggaran Pemilukada Kabupaten Paniai 2012.
Mahkamah sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,” Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” berkewajiban untuk menegakkan hak konstitusional Pemohon dan masyarakat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, \"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Mahkamah Konstitusi juga sudah sesuai dengan pasal 10 ayat 1 UU No 24 Tahun 2003 yang mengatakan , “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a.       menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.      memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.       memutus pembubaran partai politik; dan
d.      memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Demi menjamin terselenggaranya proses verifikasi administrasi dan verifikasi faktual dalam penyelenggaraan Pemilu yang ‘luber’ dan ‘jurdil’ serta mendapat kepercayaan dari masyarakat, Mahkamah memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua, dan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Paniai untuk mengawasi pelaksanaan verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar