BAHAN AJAR
PPKN KELAS XII SEMESTER
1 (kurtilas)
Indikator:
3.2.1
Menjelaskan tentang penyusunan
dan penetapan APBN
3.2.2
Mendeskripsikan Pendapatan
Negara (pajak dan pungutan
lain)
3.2.3
Mendeskripsikan lembaga
pengelola keuangan negara
3.2.4
Mendeskripsikan pelaksanaan
pasal-pasal yang mengatur pengelolaan keuangan negara
3.2.5
Menjelaskan
wewenang BPK
3.2.6
Menjelaskan kedudukan
dan keanggotaan BPK
3.2.7
Menjelaskan
pemilihan anggota BPK
3.2.8
Menjelaskan
pemberhentian anggota BPK
3.2.9
Menjelaskan pelaksanaan
pasal-pasal yang mengatur BPK
3.2.10
Mengidentifikasi asas penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman
3.2.11
Menyebutkan
penyelenggara kekuasaan kehakiman
3.2.12
Mendeskripsikan tugas dan
wewenang Mahkamah Agung (MA)
3.2.13
Mendeskripsikan tugas dan
wewenang Mahkamah Konstitusi (MK)
3.2.14
Mendeskripsikan tugas dan
wewenang Komisi Yudisial (KY)
3.2.15
Mendeskripsikan pelaksanaan
pasal-pasal yang mengatur kekuasaan kehakiman
3.2.16
Menguraikan tugas dan
wewenang Peradilan Umum (PU)
3.2.17
Menguraikan tugas dan
wewenang Peradilan Agama (PA)
3.2.18
Menguraikan tugas dan
wewenang Peradilan Militer (PM)
3.2.19
Menguraikan tugas dan
wewenang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
3.2.20 Mendeskripsikan
pelaksanaan pasal-pasal yang mengatur lembaga peradilan
3.2.21
Mengidentifikasi
pengawasan hakim dan hakim konstitusi
3.2.22
Mengidentifikasi
pengangkatan dan pemberhentian hakim dan hakim konstitusi
Pelaksanaan Pasal-pasal
yang mengatur tentang Keuangan, BPK & Kekuasaan Kehakiman
|
Keuangan
|
Penyusunan
dan penetapan APBN
|
Pendapatan
Negara
|
Lembaga
Pengelola Keuangan Negara
|
BPK
|
Wewenang
BPK
|
Kedudukan
dan Keanggotaan BPK
|
Pemilihan
Anggota BPK
|
Pemberhentian
Anggota BPK
|
Kekuasaan
Kehakiman
|
Asas
Peeenyelenggara Kekuasaan Kehakiman
|
Penyelenggara
Kekuasaan Kehakiman
|
MA,
MK, KY, PU, PA, PM, PTUN
|
Pelaksanaan pasal-pasal yang
mengatur BPK
|
Pelaksanaan pasal-pasal yang
mengatur Kekuasaan Kehakiman
|
Pelaksanaan pasal-pasal yang
mengatur Pengelolaan Keuangan Negara
|
BAB II
PELAKSANAAN PASAL-PASAL YANG
MENGATUR TENTANG KEUANGAN, BPK, DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
C.
Pelaksanaan
Pasal-Pasal yang Mengatur Kekuasaan Kehakiman
Peraturan yang mengatur
tentang kekuasaan Kehakiman adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pasal 24, pasal 24A, pasal 24B, pasal 24C dan pasal 25.
Adapun Undang-undang yang mengatur lebih jelas tentang kekuasaan kehakiman
adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab IX pasal 24 ayat 1 Tentang
Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Bab 1 pasal 1 ayat 1 mengatakan bahwa “kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia”.
1.
Asas
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Bab II pasal :
Pasal 2
1)
Peradilan dilakukan
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
2) Peradilan
negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
3) Semua
peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara
yang diatur dengan Undang-Undang.
4)
Peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 3
1)
Dalam menjalankan tugas
dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.
2) Segala
campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3)
Setiap orang yang
dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipidana
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4
1)
Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
2)
Pengadilan membantu
pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Pasal 5
1)
Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.
2) Hakim
dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
3)
Hakim dan hakim konstitusi
wajib menaati kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Pasal 6
1)
Tidak seorang pun dapat
dihadapkan di depan pengadilan, kecuali Undang-Undang menentukan lain.
2)
Tidak seorang pun dapat
dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah
menurut Undang-Undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat
bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.
Pasal 7
Tidak
seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam Undang-Undang.
Pasal 8
1)
Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan
kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
2)
Dalam mempertimbangkan
berat ringananya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan
jahat dari terdakwa.
Pasal 9
1)
Setiap orang yang
ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan
Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
2) Pejabat
yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan.
3)
Ketentuan mengenai tata
cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi, dan pembebanan ganti kerugian
diatur dalam Undang-Undang.
Pasal 10
1)
Pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
2)
Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara
perdamaian.
Pasal 11
1)
Pengadilan memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara dengan susunan majelis sekurang-kurangnya 3
(tiga) orang hakim, kecuali Undang-Undang menentukan lain.
2) Susunan
hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan
dua orang hakim anggota.
3) Hakim
dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dibantu oleh seorang panitera
atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera.
4)
Dalam perkara pidana
wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali Undang-Undang mennetukan lain.
Pasal 12
1)
Pengadilan memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran terdakwa, kecuali
Undang-Undang menentukan lain.
2)
Dalam hal terdakwa
tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat
diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.
Pasal 13
1)
Semua sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang
menentukan lain.
2) Putusan
pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam
sidang terbuka untuk umum.
3)
Tidak dipenuhinya
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan
batal demi hukum.
Pasal 14
1)
Putusan diambil
berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
2) Dalam
sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari putusan.
3) Dalam
hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim
yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
4)
Ketentuan lebih lanjut
mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3)
diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.
Pasal 15
Pengadilan
wajib saling memberi bantuan yang diminta untuk kepentingan peradilan.
Pasal 16
Tindak
pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu
menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Pasal 17
1)
Pihak yang diadili
mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.
2) Hak
ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili
untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim
yang mengadili perkaranya.
3) Seorang
hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau
istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota,
jaksa, advokat, atau panitera.
4) Ketua
majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan
pihak yang diadili atau advokat.
5) Seorang
hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia
mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang
diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang
berperkara.
6) Dalam
hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5),
putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan
dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-Undangan.
7) Perkara
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan
susunan majelis hakim yang berbeda.
2.
Penyelenggara
Kekuasaan Kehakiman
Menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 Bab IX pasal 24 ayat 2 yang berbunyi :
“Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Bab III Pasal 18 berbunyi :
“Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi”.
a.
Mahkamah
Agung
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Bab III :
1)
Pengertian
Mahkamah Agung
Pasal
20 ayat 1 yang dimaksud dengan Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara
tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan
peradilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18. Hal ini juga sama dengan
pengertian MK di pasal 1 UU No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung, Mahkamah
Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimanadimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2)
Wewenang
Mahkamah Agung
Pasal
20 ayat 2 yang berbunyi :
a) Mengadili
pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung,
kecuali Undang-Undang menentukan lain;
b) Menguji
peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang; dan
c) Kewenangan
lainnya yang diberikan Undang-Undang
Pasal 30
ayat 1, UU No 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung :
“Mahkamah Agung dalam tingkat
kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua
lingkungan peradilan karena:
a) tidak
berwenang atau melampaui batas wewenang;
b) salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c) lalai
memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Ayat 2
Dalam
sidang permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari putusan.
Ayat 3
Dalam hal
sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim agung
yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Ayat 4
Pelaksanaan
lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat(3) diatur
oleh Mahkamah Agung.
Pasal 31 UU No 5 Tahun 2004,
berbunyi:
1) Mahkamah
Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang.
2) Mahkamah
Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
3) Putusan
mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi
maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
4) Peraturan
perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
5) Putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
putusan diucapkan.
3)
Badan
Peradilan
Pasal 25 ayat 1 yang
berbunyi :
“Badan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan
peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara”.
b.
Mahkamah
Konstitusi
1)
Pengertian
Mahkamah Konstitusi
Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi pasal 1 ayat 1
yang berbunyi : “Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945”.
2)
Wewenang
Mahkamah Konstitusi
Pasal 10 ayat 1 yang
berbunyi :
Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk :
a) Menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b) Memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c) Memutus
pembubaran partai politik;
d) Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e) Kewenangan
lain yang diberikan oleh Undang-Undang.
3)
Tugas
Mahkamah Konstitusi
Pasal 29 ayat 2 yang
berbunyi :
Selain kewenangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela,
dan/ atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
4)
Anggota
Mahkamah Konstitusi
Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi pasal 4 ayat 1
yang berbunyi : “Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim
konstitusi yang di tetapkan dengan keputusan Presiden”.
5)
Susunan
Mahkamah Konstitusi
Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi pasal 4 ayat 2
yang berbunyi : “Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua
merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang
anggota hakim konstitusi”.
c. Komisi
Yudisial
1)
Pengertian
Komisi Yudisial
Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial pasal 1 ayat 1 yang
berbunyi : “Komisi Yudisial adalah lembaga Negara sebagaimana yang dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 pasal 24 B ayat 1 Komisi
Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung
dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
2)
Wewenang
Komisi Yudisial
Pasal
13 UU No. 18 Tahun 2011 yang berbunyi:
Komisi
Yudisial mempunyai wewenang:
a) Mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR
untuk mendapatkan persetujuan;
b) Menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim;
c) Menetapkan
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-sama dengan Mahkamah Agung;
dan
d) Menjaga
dan menegakkan pelaksanaan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
3)
Tugas
Komisi Yudisial
Pasal
20 ayat 1 UU No. 18 2011 Tentang Komisi Yudisial yang berbunyi:
“Dalam rangka menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku Hakim, Komisi
Yudisial mempunyai tugas:
a) Melakukan
pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku Hakim;
b) Menerima
laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman
Perilaku Hakim;
c) Melakukan
verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim secara tertutup;
d) Memutuskan
benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku
Hakim; dan
e) Mengambil
langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok
orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat
Hakim.
4)
Susunan
Komisi Yudisial
Pasal
3 ayat (1), (2), (3) UU No. 18 2011 Tentang Komisi Yudisial yang berbunyi:
(1) Komisi
Yudisial berkedudukan di ibukota Negara Republik Indonesia.
(2) Komisi
Yudisial dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pembentukan, susunan, dan tata kerja penghubung Komisi
Yudisial di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan
Komisi Yudisial.
5)
Anggota
Komisi Yudisial
Pasal
6 ayat (1), (2), (3) UU No. 18 2011 Tentang Komisi Yudisial yang berbunyi:
(1) Komisi
Yudisial mempunyai 7 (tujuh) orang anggota.
(2) Anggota
Komisi Yudisial adalah pejabat negara.
(3) Keanggotaan
Komisi Yudisial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. 2
(dua) orang mantan hakim;
b. 2
(dua) orang praktisi hukum;
c. 2
(dua) orang akademisi hukum; dan
d. 1
(satu) orang anggota masyarakat.
Pasal
11 ayat (1), (2), (3) UU No. 18 2011 Tentang Komisi Yudisial yang berbunyi:
(1) Komisi
Yudisial dibantu oleh sekretariat jenderal yang dipimpin oleh seorang
sekretaris jenderal.
(2) Sekretaris
jenderal dijabat oleh pejabat pegawai negeri sipil.
(3) Sekretaris
jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Komisi Yudisial.
Pasal
12 ayat (1), (2) UU No. 18 2011 Tentang Komisi Yudisial yang berbunyi:
(1) Sekretariat
jenderal mempunyai tugas memberikan dukungan administratif dan teknis
operasional kepada Komisi Yudisial.
(2) Ketentuan
mengenai susunan organisasi, tugas, tanggung jawab, dan tata kerja sekretariat
jenderal diatur dengan Peraturan Presiden.
3.
Pelaksanaan
Kekuasaan Kehakiman
Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa
perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Agung berwenang pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.
Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutuskan
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Disamping
perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi pula suatu
lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial
bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Akibat
perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 khususnya mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, maka Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
1999 dilakukan perubahan secara komprehensif dengan dibentuknya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam
Undang-Undang tersebut diatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas
penyelengaraan kekuasaan kehakiman,
jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan
dalam mencari keadilan. Selain itu diatur pula ketentuan yang menegaskan
kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru
sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum,
dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman.
Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung maka diatur
dalam ketentuan peralihan.
Mahkamah
Konstitusi (MK) sejak periode Nopember
2003 sampai dengan Maret 2007 telah memutuskan 16 permohonan judicial
review
Undang-Undang yang terkait dengan pengaturan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Keenam belas Putusan MK tersebut
adalah sebagai berikut:
1.
|
Pengujian Pasal 55 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara terhadap UUD 1945;
|
2.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) terhadap UUD
1945;
|
3.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945;
|
4.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap UUD 1945;
|
5.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2004 dan Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 terhadap UUD 1945;
|
6.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945;
|
7.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial;
|
8.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung terhadap Undang Undang Dasar 1945;
|
9.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Bab VI Pasal 36 Ayat (1), (2), (3), (4) dan
Pasal 11 Ayat (4) terhadap UUD 1945;
|
10.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2004 Pasal 74 Tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor1 Tahun 1987
tentang Kamar Dagang & Industri terhadap UUD 1945;
|
11.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2000 Pasal 43 ayat (1) Tentang Pengadilan HAM terhadap UUD 1945;
|
12.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung, khususnya Pasal 36 menyangkut Penasehat hukum terhadap
Undang-Undang Nomor18 Tahun 2003 tentang Advokat khususnya Pasal 12 terhadap
UUD 1945;
|
13.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 Pasal 74 Tentang Mahkamah Konstitusi;
|
14.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun
2002 tentang Pengadilan Pajak;
|
15.
|
Pengujian Pasal 16 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
|
16.
|
Pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung.
|
Putusan yang dijatuhkan oleh Majelis
Hakim MK sangat bervariasi mulai dari dikabulkan, dikabulkan sebagian, ditolak,
hingga tidak dapat diterima. Tentunya putusan MK tersebut berimplikasi yuridis
dalam penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman
disini adalah sebagaimana dimaksud dalam BAB IX Pasal 24 UUD 1945 berikut
peraturan perundang-undangan organiknya yang menjadi dasar pengaturan Mahkamah
Agung, Mahkamah Konstitusi, Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Pajak.
Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi
mempunyai wewenang berdasarkan UUD 1945 untuk mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
UUD. Dengan demikian Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu penyelenggara
kekuasaan yudikatif yang antara lain mempunyai wewenang mengawal dan menafsir
konstitusi. Implikasi dari putusan-putusan MK dalam mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD perlu
dikaji dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
4.
Contoh
pelaksanaan pasal-pasal yang mengatur Mahkamah Konstitusi
Mahkamah
Konstitusi (MK) akhirnya menjatuhkan putusan sela terhadap perkara PHPU
Kabupaten Paniai 2012 - Perkara No. 81/PHPU.D-X/2012 - pada Selasa (13/11)
siang di Ruang Sidang MK. “Amar putusan mengadili, menyatakan dalam eksepsi,
menolak eksepsi Termohon dan eksepsi Pihak Terkait. Dalam Pokok Permohonan,
sebelum menjatuhkan putusan akhir, mengabulkan permohonan Pemohon untuk
sebagian,” ujar Ketua Pleno Mahfud MD didampingi para hakim konstitusi lainnya.
Selain itu,
Mahkamah memutuskan untuk menunda pelaksanaan Keputusan KPU Kabupaten Paniai
No. 20/2012 tentang Penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah menjadi Peserta Pemilu bertanggal 24 April 2012 dan Keputusan KPU
Kabupaten Paniai No. 27 Tahun 2012 tentang Penetapan dan Pengumuman Hasil
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah Kabupaten Paniai Tahun 2012, bertanggal 19 Oktober 2012. “Memerintahkan
kepada KPU Kabupaten Paniai untuk melakukan verifikasi administrasi dan
verifikasi faktual terhadap bakal pasangan calon, yaitu Lukas Yeimo, S.Pd. dan
Olean Wege Gobai, serta memerintahkan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten
Paniai, KPU Provinsi Papua, KPU dan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan verifikasi
administrasi dan verifikasi faktual tersebut sesuai dengan kewenangannya,”
demikian putusan Mahkamah.
Sebelum
menjatuhkan putusan, Mahkamah menyampaikan pendapatnya. Di antaranya, Termohon
terbukti telah menghalang-halangi hak Pemohon untuk maju sebagai Pasangan Calon
Peserta Pemilukada Kabupaten Paniai 2012 yang merupakan pelanggaran serius
terhadap hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh konstitusi dalam
penyelenggaran Pemilukada Kabupaten Paniai 2012.
Mahkamah
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman sesuai dengan ketentuan Pasal 24 Ayat (1)
UUD 1945 yang menyatakan,” Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” berkewajiban
untuk menegakkan hak konstitusional Pemohon dan masyarakat sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, \"Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang
adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Mahkamah Konstitusi juga sudah sesuai dengan pasal 10 ayat 1 UU No 24
Tahun 2003 yang mengatakan , “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk:
a. menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. memutus
pembubaran partai politik; dan
d. memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Demi
menjamin terselenggaranya proses verifikasi administrasi dan verifikasi faktual
dalam penyelenggaraan Pemilu yang ‘luber’ dan ‘jurdil’ serta mendapat
kepercayaan dari masyarakat, Mahkamah memerintahkan kepada Komisi Pemilihan
Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua, dan
Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kabupaten Paniai untuk mengawasi pelaksanaan
verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar